Murah, kemasan menarik, dan penampilan yang mulus. Ya, inilah kesan saya terhadap berbagai macam produk buatan Cina yang juga menggunakan merek beraneka ragam menandakan keaslian produknya, bukan sebagai tiruan dari merek terkenal. Berbagai perkakas untuk mesin, komputer dan lain sebagainya yang biasanya hanya dibuat dengan presisi tinggi oleh pabrik dari dunia Barat, kini bisa dijumpai dengan harga lebih murah yang dibuat di Cina.
Untuk menambah keyakinan konsumen, harga murah ini tidak tampak dari kemasan dan penampilannya. Berbeda dengan beberapa tahun lalu ketika kita dengan mudah membedakan antara produk murah yang umumnya tidak berkualitas dengan produk berkualitas yang biasanya berharga mahal. Bahkan tidak jarang, kemasan produk Cina lebih menarik ketimbang produk sejenis yang bermerek lebih terkenal. Tidak heran jika produk Cina begitu membanjiri pasar dan konsumen pun tidak ragu menyerapnya.
Konsumen bukannya kapok dengan Mocin?
Produk teknologi tinggi dan rumit seperti sepeda motor buatan Cina yang sejak awal kemunculannya di Indonesia sudah kualitasnya diragukan oleh masyarakat. Sehingga para pedagang motor Cina pun hanya bisa memanfaatkan momen euforia sejenak masyarakat yang bisa membeli sepeda motor dengan harga yang lebih terjangkau dibanding sepeda motor merek Jepang dengan fitur yang serupa. Kali ini, produk Cina yang diserap dengan baik di pasar bukanlah produk yang rumit, meski tidak jarang bersentuhan dengan teknologi tinggi seiring dengan tren produksi merek terkenal dengan teknologi tinggi yang dipabrikasi di Cina.
Produk-produk ini barangkali hanya sekedar aksesoris, yang fisiknya kecil, harganya juga cukup terjangkau, dan bukan dipakai untuk selamanya. Misalnya adalah perkakas kelengkapan mobil, seperti satu set kunci pas, peralatan darurat, aksesoris kelistrikan rumah tangga, dan produk lain sejauh Anda bayangkan. Tentunya kehadiran produk Cina dengan merek yang tidak terkenal tidaklah menjadi masalah karena memberikan pilihan yang begitu menggiurkan bagi konsumen. Harganya sudah pasti jadi patokan utama. Kemasannya tidak mengecewakan seakan-akan Anda membeli produk tanpa dibungkus apa-apa. Penampilannya juga tidak menunjukkan bahwa produk ini berkualitas rendah.
Tapi di balik itu semua, setelah Anda semua membelinya dengan gembira karena selama ini hanya bisa dibayangkan tanpa mampu membeli karena produk aslinya berharga sangat mahal, timbul kekecewaan sedikit demi sedikit. Fungsinya yang kurang sempurna. Jika yang Anda beli adalah perkakas, maka fungsi perkakas akan terasa tidak halus, agak kasar, atau seret, terkesan sebagai cacat kecil yang masih wajar, karena toh fungsi utamanya masih bisa digunakan. Namun makin lama, perkakas ini makin tidak handal, bahkan gagal atau rusak. Meskipun penampilan secara keseluruhan masih cukup mulus, mengilap, dan tidaklah menunjukkan cacat yang besar, tetapi kali ini fungsi utama perkakas sudah tidak bisa digunakan. Jika perkakas ini obeng, maka mata obenglah yang rusak dan tidak lagi mampu memutar sekrup. Anda pun berandai-andai jika ada suku cadang pengganti yang harganya tidak seberapa dibanding perkakas ini bisa mengembalikan fungsi utamanya. Tapi Anda bakal sulit menemuinya, dan jika pun mencari akan lebih praktis untuk membeli yang baru. Sungguh terasa berlebihan dan akhirnya hanya menumpuk sampah.
Harga murah berarti produsen sedikit untung?
Hukum ekonomi tidaklah mengatakan kecenderungan ini. Secara alamiah, harga murah berarti pengurangan kualitas dan material. Secara material yang kasat mata, mungkin pengurangan kualitas tidak terlihat. Penampilan produk cukup meyakinkan, bahkan mungkin tampil lebih menarik ketimbang produk ‘aslinya’. Lalu dari mana produsen dan pedagang produk Cina meraup untung? Sudah barang tentu pengurangan kualitas yang dilakukan dengan cerdas akan menghasilkan untung yang besar. Bahkan berpotensi untung yang lebih besar karena adanya pembelian yang berulang. Produk aslinya mungkin hanya dibeli sekali untuk seumur hidup, kalaupun membeli lagi akan dilakukan dalam jangka waktu panjang. Jika siklus produk telah mencapai level stagnan setelah menanjak, maka penjualan produk akan mengalami penurunan dan bahkan berhenti. Produk bisa hilang dari pasaran karena produsennya bangkrut tidak mampu berproduksi lagi dengan tingkat penjualan yang terlalu rendah.
Kebalikannya produsen bisa terus berproduksi dengan tingkat penjualan tertentu sehingga bisa bertahan lebih lama, dengan mengurangi kualitas produk. Tentu yang dirugikan adalah konsumen, tapi produsen bisa menciptakan kondisi di mana konsumen tidak merasa keberatan untuk membeli produk baru karena harga yang begitu ekonomis. Hal inilah yang kelihatannya sedang terjadi dengan produk Cina. Produsen begitu agresif menawarkan harga yang ekonomis yang bahkan konsumen pun secara tidak sadar dan keberatan untuk terus dan terus membeli produk mereka, meski konsumen dirugikan karena produk gagal berfungsi.
Dunia elektronik canggih
Bangsa Cina bukannya tidak mampu memproduksi barang berkualitas tinggi. Sebagai contoh, di dunia elektronika yang begitu canggih, produk Cina bisa hadir begitu canggih. Hampir semua produsen komputer dan elektronik menyerahkan produksi mereka di pabrik-pabrik Cina, baik untuk produk hi-end maupun low-end. Jadi Cina tidaklah asing dengan dengan kualitas tinggi. Komputer bermerek Hewlett Packard mulai dari PC, notebook, sampai dengan server pun tidak haram diproduksi di Cina. Bahkan produk PC dan notebook bermerek IBM pun sudah diambil alih oleh produsen Cina.
Di sisi lain juga terdapat tren peniruan produk-produk terkenal. Apple iPhone yang asli sudah tentu berharga mahal dan bersifat eksklusif, tapi tidak berarti masyarakat berkantong pas-pasan tidak mampu memiliki ponsel dengan bentuk serupa iPhone (yang bentuk luarnya hampir sulit dibedakan). Engadget mengistilahkan tiruan ini sebagai KIRF. Produk-produk pelopor di dunia elektronik seperti Apple iPod, Nokia yang paling canggih, tidak lama setelah beredar di pasaran, akan muncul tiruannya yang tidak kalah canggih. Pastilah ada perbedaan antara produk asli dengan produk tiruan ini, yakni di spesifikasi yang tidak mungkin sama. Tapi untuk produk tertentu, bahkan spesifikasi produk tiruan bisa lebih lengkap ketimbang aslinya.
Prestasi dan keberadaan produk-produk canggih ini tentu menambah keyakinan bagi konsumen akan kemampuan produsen Cina untuk membuat produk berkualitas tinggi.
60% harga – 40% kualitas
Jadi sepertinya produsen produk Cina menerapkan rumus 60% harga dan 40% kualitas. Selisih harga sebesar 40% akan membuat konsumen di tingkat manapun akan tergiur untuk melakukan pembelian, meski hanya untuk sekali saja. Akibatnya penetrasi produk kepada konsumen begitu dahsyat. Bandingkan dengan produk ‘asli’ yang hanya dibeli oleh konsumen tertentu saja sesuai pangsa pasarnya.
Sedangkan kualitas 40% untuk mengalihkan perhatian konsumen bahwa telah terjadi penurunan kualitas sebesar 60% yang tidak kasat mata. Apa yang bedanya bagi konsumen tentang kualitas 100% dan 60%? Hanyalah persepsi dan keyakinan individual dari setiap konsumen. Hal inilah yang sedang dimanfaatkan oleh produsen, sebelum akhirnya pada suatu saat konsumen mengubah persepsi dan keyakinan mereka.
Tentu saja rumus 60% – 40% ini bisa saja tidak valid lagi karena produsen Cina telah meningkatkan kemampuan produksinya, atau karena modalnya sudah cukup ditopang oleh tingkat penjualan yang tinggi dari periode produksi (berkualitas rendah) sebelumnya. Tapi untuk sementara waktu, kita boleh memilih untuk teliti dan tidak mudah tergiur oleh pesona produk Cina. Terutama untuk barang rumah tangga yang kecil-kecil namun bisa memboroskan pengeluaran bulanan Anda boros. Dengan kata lain, ada kerugian 20% dari selisih harga yang Anda bayarkan dan kualitas yang Anda nikmati. Kerugian yang agak sulit dinilai secara nominal ini memang bersifat subyektif. Bisa jadi Anda konsumen yang sangat beruntung karena bisa menikmati produk Cina yang berkualitas 100% dengan daya tahan yang sangat memuaskan. Tapi hal ini mustahil bagi kebanyakan konsumen.
Rumus ini tidak berarti juga bahwa produk ‘asli’ (yang mungkin juga kebetulan diproduksi di Cina) lebih baik. Namun kecenderungannya seperti kata pepatah, “Ada harga, ada rupa.” Harga mahal untuk produk massal bukanlah tanpa sebab. Kualitaslah yang akan berbicara. Mungkin saja Anda tetap rugi 20% karena membayar 120% lebih mahal namun hanya menikmati 100% kualitas. Atau membayar 100% dengan kualitas hanya 80%. Tapi secara psikologi, Anda akan meraup untung karena tidak mengalami stres gara-gara produk yang Anda beli dan masih mulus tiba-tiba tidak bisa digunakan lagi, alias LEMBIRU, “Lempar, dan beli baru.”
Distribusi Produk Cina
Salah satu distributor utama produk Cina adalah Carrefour. Meskipun menyandang nama asing dari Eropa Barat yang lekat dengan citra dunia Barat akan tuntutan kualitas tinggi, justru Carrefour lah yang sering membanjiri pasar dengan produk berkualitas rendah dengan dalih memberikan harga yang paling murah. Padahal sejatinya jika ingin dibandingkan dengan pedagang lain, justru Carrefour bisa memberikan harga lebih mahal untuk produk berkualitas. Alias untuk produk berkualitas tinggi yang sama, Anda bisa mendapatkan lebih murah di luar Carrefour. Bahkan jika ingin dikatakan secara kasar, “Barang yang tidak layak pun dijual di Carrefour.”
Sementara konsumen masih terkesima dengan citra harga murah Carrefour yang mulai terpatri secara kuat, Carrefour memainkan peluangnya untuk meraup untung lebih banyak dari produk-produk berkualitas tinggi. Harga murah hanya diterapkan untuk barang berkualitas rendah yang kadang tidak layak digunakan. Atau kalaupun barang ini layak untuk digunakan, tidak layak dijual di Carrefour yang megah, sejuk dan mentereng. Memang tidak ada yang salah dalam hal Carrefour menjual barang jelek. Toh sudah seharusnya konsumen lebih cerdas dalam membeli barang.
Untuk masyarakat perkotaan, “Berapa banyak barang yang Anda beli dari Carrefour yang akhirnya tidak bisa terpakai karena rusak?” Bahkan Anda pun bisa mendapatkan ekstensi listrik yang korslet di dalam (alias produk gagal) dengan bentuk fisik yang memukau. Lho, bukannya Carrefour atau penjual memiliki kebijakan tentang garansi produk gagal? Masalahnya kegagalan produk ini terjadi di luar rentang waktu garansi yang disediakan Carrefour. Boleh saja Carrefour berdalih bahwa dia memiliki kebijakan garansi barang dikembalikan dengan syarat dan ketentuan tertentu. Namun jika produk ini gagal di luar periode garansi Carrefour dan karena begitu remehnya produk ini sehingga tidak perlu diberikan garansi oleh produsen. Jangan lupa, makin lama penjual pun makin selektif untuk memberikan garansi terhadap kegagalan produk. Bahkan mereka rajin sekali menuliskan dalam bukti pembelian dengan dalih standar bahwa, “Barang yang sudah dibeli tidak bisa ditukar/dikembalikan.” Tentu saja konsumen bisa memahami ketentuan ini untuk beberapa produk tertentu yang sudah berjalan sekian lama. Tapi bagaimana dengan produk kelistrikan, elektronik yang berharga tinggi (di atas 50 ribu IDR) dan mengalami perlakuan yang sama?
Jadi siapkah anda merugi 20% dari pembelian produk Cina?